WartaPelajar – Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr Tri Wuryaningsih mengatakan kasus meninggalnya seorang pelajar SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, usai diceburkan ke dalam kolam oleh teman-temannya mencerminkan bahwa anak-anak belum bisa berpikir jauh atas risiko perbuatan yang mereka lakukan.
“Sekarang ini memang banyak yang merayakan ulang tahun temannya dengan memberi kejutan-kejutan. Sebenarnya tidak apa-apa kasih kejutan kalau itu tidak membahayakan, berikan kejutan yang menyenangkan,” kata Tri Wuryaningsih di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa malam.
Akan tetapi jika kejutan tersebut diberikan dengan menceburkan ke kolam, kata dia, hal itu justru membahayakan karena belum tentu si anak yang berulang tahun bisa berenang atau mengalami sesuatu yang berisiko pada dirinya.
Menurut dia, anak-anak yang menceburkan temannya ke kolam itu belum bisa memikirkan sampai jauh mengenai risiko dari tindakan yang mereka lakukan.
“Pola pikir anak-anak memang belum antisipatif, belum bisa mempertimbangkan risiko apa yang akan terjadi dari tindakan itu, akibat-akibat apa yang akan ditimbulkan,” kata Ketua Forum Komunikasi Keadilan dan Kesetaraan Gender Kabupaten Banyumas itu.
Menurut dia, anak-anak dalam memberikan kejutan bagi temannya yang berulang tahun sering kali terinspirasi dari tayangan di berbagai media sosial.
Dia mengatakan anak-anak belum bisa mencerna tayangan-tayangan tersebut, sehingga menganggapnya sebagai sesuai yang lain dan mengasyikkan namun tidak bisa memprediksi akibat apa yang akan terjadi.
Oleh karena itu, kata dia, anak-anak harus diarahkan untuk melakukan hal-hal positif termasuk dalam merayakan ulang tahun teman-temannya.
Dalam hal ini, lanjut dia, anak-anak butuh bimbingan dari guru dan orang tua beserta keluarga dengan dididik untuk memberikan kejutan ulang tahun yang bermanfaat dan tidak membahayakan.
“Artinya, nge-prank (memberi kejutan) itu jangan yang membahayakan, karena ciri khas anak itu belum bisa berpikir panjang mengenai apa risikonya, apa akibatnya, sehingga butuh bimbingan dari guru, orang tua, dan keluarga,” katanya menegaskan.
Dia mengakui semua itu ada masanya karena orang tua saja kadang-kadang kalau tidak pernah menghadapi situasi atau gemblengan maupun tidak punya pemikiran yang panjang juga dapat berbuat seperti yang dilakukan anak-anak.
Dia pun mencontohkan kasus penganiayaan di Bandung pada tahun 2011 yang dilakukan secara tidak sengaja oleh seorang satpam terhadap seorang mahasiswi karena berdandan seperti “suster ngesot” untuk memberi kejutan kepada temannya yang berulang tahun.
“Itu terjadi di Bandung, jadi nge-prank-nya sudah keterlaluan, melewati batas-batas kewajaran,” katanya.
Berkaitan dengan Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, dia mengharapkan bimbingan orang tua beserta keluarga maupun guru perlu digalakkan kembali untuk mengarahkan tindakan-tindakan anak lebih kepada hal-hal positif.
“Misalnya, hadiah ulang tahun itu ya jangan pakai nge-prank, cukup dikasih kejutan apa tetapi yang sifatnya tidak membahayakan jiwa. Kalau ulang tahun, berikan kejutan yang positif, yang mendidik,” kata Tri Wuryaningsih.
Seorang siswa SMAN 1 Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bernama Fajar Nugroho meninggal dunia usai diceburkan oleh teman-temannya di kolam pada hari Senin (8/7).
Fajar yang juga Ketua OSIS di sekolahnya sedang melakukan kegiatan di sekolah dan salah seorang temannya ingat bahwa hari tersebut merupakan hari ulang tahun Fajar.
Sebelum diangkat dan diceburkan ke kolam, Fajar terlebih dulu diberi tepung oleh empat temannya. Saat berada di kolam, Fajar mengaku kakinya kram sehingga tiga teman yang lain menolongnya.
Padahal, Fajar sebenarnya tidak mengalami kram melainkan terkena setrum. Bahkan, salah seorang teman Fajar yang berusaha menolong juga terkena setrum namun masih bisa bergerak.
Sementara teman Fajar lainnya yang bisa keluar dari kolam segera mematikan saklar listrik kolam.